Saturday, October 7, 2017

Tradisi pakai SARUNG SUKU TENGGER, Desa Argosari Lumajang

Pernakah anda berkunjung didesa Argosari, Senduro, Lumajang? Kebanyakan warga baik tua dan muda, laki-laki dan perempuan, memakai sarung. Itulah kesan yang tertangkap mata ketika memandang setiap sudut Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka adalah bagian dari masyarakat Suku Tengger.

Motif sarungnya beragam. Cara menggunakannya pun berbeda-beda. Di beberapa kegiatan mereka tampak mengalungkan sarung di leher. Di waktu-waktu lainnya, mereka menggunakan sarung untuk menutup tubuh.
Meski sudah siang, masyarakat Suku Tengger di Desa Argosari pun masih terlihat menggunakan sarung. 

Pertanyaan mendasar yang muncul di kepala adalah mengapa Suku Tengger di Desa Argosari selalu menggunakan sarung?


Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Budiyanto menjelaskan sarung memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger. Penggunaan sarung pun memiliki banyak cara untuk memakai berdasarkan fungsi.

" Sarung ini saya pikir jadi identitas. Sarung ini jadi harga diri. Sarung ini juga jadi tren," kata Budiyanto.
Baginya, sarung punya cerita tersendiri di hidupnya. Sarung seperti salah satu bentuk kebanggaan sebagai Suku Tengger. Bahkan, harga diri pun jadi taruhannya.

"Saya dulu pertama ada di Tengger ini sempat berpikir jaket itu sudah mahal harganya. Sudah dipakai ditutup sarung jadi gak kelihatan jaketnya. Setelah sekolah, pulang saya pakai jaket gak pake sarung. Kuliah juga jarang masuk, banyak hari-hari santai jadi pulang. Jadi selama SMA hingga lulus, saya banyak jadi pergunjingan," ungkapnya.

Ia mengaku pernah menjadi bahan pembicaraan di lingkaran Suku Tengger lantaran tak menggunakan sarung. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran ia telah berhasil melanjutkan di perguruan tinggi.

"Seolah-olah mikir saya malu jadi orang Tengger. Sehingga saya kuliah itu pakai sarung. Karena saya nandain di kampus itu ada orang Tengger. Sampai sekarang saya gak pakai sarung itu sungkan. Padahal gak dingin. Kalau cuaca mendung atau kabut kita memang gunakan sarung sesuai fungsi," ujarnya.

Penggunaan sarung oleh Suku Tengger sendiri memiliki ragam variasi tersendiri. Penggunaan tersebut berdasarkan aktivitas dan jenis kelamin.

"Ada yang namanya bentuk Lampin. Itu dipakai seorang lelaki ketika bekerja keras. Kemudian ada jenis bekerja tapi mengandalkan keberanian atau keamanan. Sarungnya sama tapi makna beda. Ada untuk waktu santai. Misalnya sudah pulang kerja dan di rumah. Ada yang aktivitas yang tak terlalu berat. Ada yang bentuknya melindungi kabut yang turun ke punggung," jelas Budiyanto.
 
Penggunaan sarung oleh perempuan Suku Tengger juga memiliki penandaan status. Ada yang menandakan perempuan lajang, menikah, juga janda.

"Perempuan ada seperti digunakan di kiri dan kanan bahu. Kekaweng simpulnya. Ada biasa dipakai perempuan yang sudah berkeluarga. Ada yang simpul di kanan, dipakai perempuan yang belum menikah tapi sudah punya pacar," ujarnya.

Penggunaan sarung oleh suku Tengger saat ini terus digunakan baik pada aktivitas sehari-hari maupun upacara adat. Menurutnya, bila seorang suku Tengger tak menggunakan sarung maka akan menjadi bahan pergunjingan.

"Dulu penggunaan sarung lebih ke fungsi. Tak ada aturan itu yang melarang gak pakai sarung. Keluar wilayah Tengger gak pake sarung gak apa-apa. Seperti kebiasaan merokok, tak merokok tak enak. Saya pun sama. Ketika kemana-mana gak pake sarung, itu kelihatan gak pantas. Kalau pakai sarung kan bisa gaya macam-macam. Seperti pelampiasan saja," jawabnya sambil tertawa dan mencontohkan memakai sarung.

"Sampai sekarang akhirnya adat bikin peraturan yang tak tertulis kalau ada acara adat itu wajib pakai ikat kepala dan sarung itu sudah. Kalau gak pakai sarung tetep diperbincangkan," tambah Budiyanto.

Budaya memakai sarung ini sendiri ada sejak Suku Tengger hadir. Budiyanto mengatakan zaman dahulu bukan sarung yang digunakan oleh Suku Tengger melainkan hanya kain.

Saat ini, budaya memakai sarung tetap dilestarikan di Desa Argosari. Salah satunya dengan cara mengajarkan kebiasaan menggunakan sarung.

"Misalnya punya anak, otomatis saya belikan sarung walaupun masih kecil. Sampai saya pesan ukuran yang kecil. Jadi gak melalui kata-kata mengajarkan memakai sarung. Lewat kebiasaan langsung," ujarnya.

Desa Argosari sendiri adalah salah satu tempat tinggal masyarakat Suku Tengger.

SALAM KOMPAK KOTA PISANG, salam gedang saklirang

terimakasih












0 comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung di blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan